Perempuan dan laki-laki dalam balutan hegemoni ideologi maskulinitas, masihkah?

ence adinda
5 min readOct 31, 2018

“Laki-laki memerankan peran laki-laki. Perempuan memerankan peran perempuan. Laki-laki memerankan peran laki-laki karena perempuan memerankan peran perempuan. Perempuan memerankan peran perempuan karena laki-laki memerankan peran laki-laki. Laki-laki memerankan peran laki-laki karena itu yang diharapkan oleh perempuan yang sedang memerankan peran perempuan. Perempuan memerankan peran perempuan karena itu yang diharapkan laki-laki yang sedang memerankan peran laki-laki.”

Sebuah kutipan catatan kaki dalam buku Arief Budiman. Catatan kaki yang diambil dari buku Masculine/Feminine karya B. Roszak & T. Roszak (ed.) yang diterbitkan tahun 1969 oleh Harper Colophan Books yang saya dapatkan ketika pagi ini membaca jurnal tentang Gender dan Media oleh seorang mahasiswa pascasarjana S2 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia, Fatma Andina. Kutipan ini saya rasa mampu menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan bertindak sebagai bidak catur. Hidup yang kita jalani adalah permainan catur itu sendiri, sedangkan pemain catur adalah ideologi feminitas dan maskulinitas.

Isu yang diangkat dalam jurnal ini adalah keterkaitan antara gender (feminin dan maskulin) beserta dengan semua stereotipnya (maskulinitas digambarkan dengan sifat gagah, macho, kuat; sedangkan feminitas digambarkan dengan sifat lemah, anggun, dan halus), kemudian peran hegemoni pada ideologi maskulinitas, beserta implikasinya terhadap tiap individu. Fatma mengangkat film berjudul, Billy Elliot, seorang anak laki-laki yang memiliki ketertarikan terhadap ballet, namun sangat ditentang oleh sang Ayah, Chuckie Eliot, karena sang Ayah menganggap bahwa seorang anak laki-laki ‘normal’ nya akan berkecimpung dengan hal-hal yang memacu adrenalin dan kekuatan seperti tinju. Sehingga Billy disalahkan karena dianggap ‘menyimpang’ dari realitas yang ada.

Saya akan berusaha untuk mengadopsi pokok pikiran yang ada dalam jurnal “Laki-laki dan perempuan dalam bingkai struktur” oleh Fatma dan mengaitkannya dengan contoh lain dalam bentuk advertisement yang menurut ‘opini saya’ masih terjebak pada hegemonik ideologi maskulinitas dan iklan yang telah berhasil mendobrak ke ‘semesti’ an peran keduanya. Supaya perbandingannya setara, saya secara sengaja mengambil satu merk parfum yang diidentikkan dengan produk laki-laki, Axe. Dua iklan dari tahun yang berbeda saya ambil sebagai bahan diskusi di tulisan kali ini, satu iklan di publikasikan sekitar tahun 2013 dan iklan yang lain di publikasikan pada tahun 2017. Berikut adalah video hasil pilihan saya di Youtube;

Advertisement A
Advertisement B

Pertama-tama, saya akan memaparkan definisi ideologi berdasarkan expert; Raymond Williams (1977) dalam Fiske (1990), ideologi adalah suatu sistem keyakinan ilusioner atau gagasan palsu atau kesadaran palsu (false conciousness) yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. Teori ini sebenarnya digunakan untuk melanggengkan Kapitalisme, menurut Karl Marx. Kaum proletar dijejalkan (instilled) dengan kesadaran palsu bahwa apa yang mereka lakukan untuk para kapitalis di dalam proses produksi adalah suatu hal yang wajar, pun jika muncul di benak mereka pertanyaan mengenai ketidakadilan yang terjadi pada mereka, maka unsur-unsur dari agama/norma/moralitas akan dimasukkan sebagai bentuk pedoman bagi kaum subordinat, sehingga jika mereka tidak melakukan apa yang dianggap benar dalam norma yang berlaku, maka akan dianggap sebagai penyimpangan. Ujung ujungnya? Ya ngawulo lagi dong dengan si Kapitalis.

Pada iklan pertama, ideologi maskulinitas dan feminitas direpresentasikan secara tegas dan gamblang berdasarkan ‘common opinion’ yang telah beredar dalam masyarakat tentang bagaimana itu laki-laki dan perempuan. Pada iklan tersebut, setelah si laki-laki (digambarkan dalam balutan baju tidur)menggunakan parfum Axe, kemudian berdatangan beberapa perempuan yang digambarkan sebagai malaikat dalam kostum serba minim dan terlihat mengekspose lekuk tubuh mereka. Pada dasarnya dalam masyarakat tumbuh keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang patut untuk dinikmati “keindahan”nya, yang kemudian dibenarkan dengan teori dari Fredricson & Roberts (1997) tentang fenomena objektifikasi perempuan, bahwa; “Women exist in a culture which their bodies are looked at, evaluated, and always potentially objectified.” Objektifikasi adalah memperlakukan seseorang layaknya benda tanpa mempertimbangkan harkat martabatnya. Kita bisa lihat bahwa perempuan memang sedang di jadikan sebagai ‘objek’ yang tertarik pada aroma tubuh si ‘subjek’ (laki-laki). Kemudian, para perempuan digambarkan sedang memberikan pelayanan berupa pijatan dan menyiapkan minum untuk si laki-laki. Perempuan yang digambarkan sebagai second sex dalam iklan ini akan semakin menguatkan dan melanggengkan hegemoni ideologi maskulinitas bahwa betul laki-laki memegang kontrol atas perempuan, maka dari itu adalah sebuah kewajaran bagi seorang perempuan untuk tunduk atau submissive pada the first sex. Perempuan tidak lepas dari gambaran bahan pelengkap bagi laki-laki.

Pada iklan kedua, kita bisa lihat bahwa si laki-laki direpresentasikan dengan sangat maskulin dan macho. Tubuh tegap gagah dan berotot, potongan cepak, rasanya akan sangat sempurna untuk menggambarkan definisi “Laki” berdasarkan realitas yang ada pada masyarakat. Ia terlihat berjalan menuju sebuah tempat latihan tinju, cocok seperti yang terjadi pada cerita Billy Elliot, dimana Ayah Billy menginginkan anaknya untuk belajar tinju daripada ballet karena olahraga tinju lebih diasosiasikan pada laki-laki, sedangkan balet adalah untuk perempuan saja. Yang menarik pada iklan kedua adalah, si Laki-laki macho ini ternyata bukan seorang petinju dan tidak sedang mengikuti kelas tinju. Ia ternyata seorang penari/ dancer yang digambarkan dalam iklan tersebut merupakan satu-satunya laki-laki yang berada dalam kelas tari. Hal yang terjadi pada iklan kedua nampaknya berhasil mendobrak ideologi maskulinitas dengan menunjukkan meskipun ia seorang laki-laki, namun ia memiliki ketertarikan pada seni tari (yang konsepnya lemah gemulai, hanya untuk keindahan dan identik dengan hal-hal feminin) ternyata tidak juga mengurangi sense ke ‘laki-laki’ an nya.

Berdasarkan seorang filsuf Perancis, Louis Althusser dalam Fatma, 2012; Ideologi tidak hanya berada dalam tataran konsep, tetapi juga memiliki eksistensi material, contohnya; kepercayaan masyarakat terhadap stereotip perempuan sebagai makhluk yang patut dinikmati keindahannya, perempuan lebih condong diperankan sebagai objek ketimbang subjek, laki-laki dianggap normal untuk ‘mendominasi’ perempuan, dan perempuan ‘normal’ untuk melayani laki laki ini kemudian diikuti dengan eksistensi material dengan merealisasikan anggapan imajiner masyarakat ke dalam kehidupan nyata dalam bentuk iklan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah laki-laki dan perempuan sebagai bidak catur masih lebur dalam hegemoni ideologi maskulinitas? Jawaban dari saya adalah, bisa iya, bisa jadi tidak. Berdasarkan dua iklan yang saya jadikan contoh dalam tulisan ini, kesadaran para stakeholders di bidang media untuk menggunakan lensa gender sudah mengalami peningkatan. Terbukti dengan adanya iklan Axe di tahun 2017 yang berhasil mengaktualisasikan laki-laki tanpa terjebak bingkai-bingkai struktur maskulinitas. Media merupakan sebuah alat yang mampu membawa dampak positif dan sekaligus negatif terhadap eksistensi perempuan. Mengapa saya lebih menekankan pada kata perempuan? Karena memang kita tidak bisa menutup mata bahwa hanya segelintir media saja yang sudah mulai sensitif gender dan memilih untuk mulai mendekonstruksi realitas pada masyarakat. Media bukan saja hanya mengajarkan namun juga ikut ambil andil dalam meneguhkan skema yang sudah terbangun. Jika perempuan secara terus-menerus digambarkan dalam peran memasak, mencuci, atau bersih-bersih rumah maka akan tercipta keyakinan dalam masyarakat bahwa memang betul perempuan lebih cocok di ranah domestik.

Sudah saatnya bagi kita untuk berani mendobrak tembok yang dibangun oleh stereotip gender. Bagi saya, tidak pernah ada sesuatu yang sangat khas laki-laki atau sangat khas perempuan, selain alat kelamin kita. Jika itu kemudian berbicara soal profesi, hobi, fashion, cara berbicara, passion, dst adalah variabel bebas yang bisa dipertukarkan diantar dua jenis seks. Kita sebagai individu seharusnya bertindak bukan sebagai bidak catur, melaikan sebagai pemain catur itu sendiri. Saya harus mengutip kesimpulan dari mba Fatma bahwa setiap individu berhak memiliki kebebasan untuk membentuk dirinya tanpa harus terpaku pada bingkai-bingkai struktur.

Kapan? Mulai dari detik ini.

--

--